LPM PRODUKTIF – Beberapa mahasiswa pilihan yang diberi kepercayaan dan berperan dalam membina persekutuan, persaudaraan serta menyalurkan aspirasi mahasiswa harus memikul beban yang cukup berat. Pasalnya, segala dedikasi yang telah mereka berikan harus dibayar dengan sanksi akademik berupa skorsing. Inilah yang dialami oleh beberapa ketua lembaga kemahasiswaan di Universitas Tadulako. Kondisi lembaga atau organisasi mahasiswa masih ada didalam cengkeraman kebijakan kampus yang memberangus aktivitas mahasiswa.
Sanksi tersebut diberikan kepada ketua-ketua lembaga yang tersebar di beberapa fakultas yang berbeda, di antaranya Ketua BEM Fakultas Hukum, BEM FMIPA, BEM FKIP, DPM Fakultas Hukum, Himasos FISIP dan mantan Wapresma Untad. Masa studi beberapa nama tersebut terancam akan di berhentikan sementara dengan rentang waktu dan penyebab yang berbeda-beda. Namun yang hangat belakangan ini terkait menjelang Ormik 2017 karena adanya sebaran informasi tentang tidak adanya kewajiban mengikuti tes kesehatan bagi mahasiswa baru yang dilakukan oleh beberapa oknum mahasiswa. Akibat dari hal ini, banyak orang tua mahasiswa baru yang merasa kebingungan terkait tes kesehatan.
Seperti yang dilansir pada halaman facebook Humas Untad bahwa “Adanya gangguan stabilitas informasi dan situasi yang dikeluarkan oleh oknum mahasiswa. Dalam hal ini, terkait tes kesehatan yang diklaim tidak wajib dan disebarluaskan oleh oknum mahasiswa di beberapa fakultas. Padahal, sesuai aturan dan prosedur pendaftaran ulang, tes kesehatan itu wajib dilakukan karena merupakan salah satu syarat utama dalam melakukan pendaftaran ulang”.
Menindaki hal ini, Rektor Untad segera membuat rapat pimpinan terbatas dengan beberapa dekan fakultas untuk mengambil langkah-langkah dalam upaya mengkondusifkan kembali keadaan. Adapun hasil yang tertuang dari rapat tersebut di antaranya adanya rekomendasi mengembalikan dan menolak pembayaran UKT terhadap oknum mahasiswa yang terkait. “Pengembalian dan penolakan ini ditempuh agar jangan pihak Universitas Tadulako dideskreditkan hanya karena seseorang telah membayar UKT. Seolah jika mahasiswa telah membayar UKT, apapun bisa dilakukan, termasuk mengacaukan stabilitas/informasi kampus, khususnya yang terkait dengan hajatan Nasional SNMPTN, SBMPTN dan SMMPTN”.
Salah satu ketua lembaga yang terkena putusan ini merasa tidak perlu adanya biaya yang harus dikenakan kepada mahasiswa baru selama menjalani tes kesehatan. Baginya, pelaksanaan tes kesehatan harus dibebaskan dari pungutan apapun. Itulah alasan mengapa informasi tersebut disebar. “Kami persalahkan adalah tidak diwajibkan tes kesehatan karena adanya biaya, jika tidak adanya pungutan biaya silahkan saja”. Selain itu, skorsing yang diterima oleh oknum-oknum mahasiswa tersebut memiliki rentang waktu yang berbeda-beda. Parahnya, oknum mahasiswa yang terjerat pada kasus yang sama, namun dikenakan masa hukuman yang sangat kontras perbedaannya.
“Saya heran mengapa terdapat kasus yang sama berupa himbauan tes kesehatan, tapi masa skorsingnya berbeda. Saya berlaku selama setahun, sedangkan yang lain hanya per semester. Mengenai mata kuliah semester genap kemarin juga telah dihapus. Ketika saya cek, mata kuliahnya telah hilang”, ucap salah satu ketua lembaga.
Ketika mempelajari fenomena ini, dapat dikatakan kekritisan mahasiswa dalam melihat pengembangan kampus masih sangat dibatasi. Mengingat masih ada saja kebijakan yang berusaha menjauhkan mahasiswa dari persoalan-persoalan dan dunianya. Apalagi mengingat lembaga kemahasiswaan yang cukup strategis baik dalam lingkungan internal kampus dan masyarakat. Bila dicermati mendalam peran dan fungsinya, maka tersirat adanya lembaga yang berfungsi sebagai legislatif dan eksekutif yang saling jalin berkelindan menjalankan fungsi dan perannya guna menggapai tujuan bersama. (aht/dru)
