LPM PRODUKTIF – Masih hangat dalam ingatan tentang kehadiran Pusbang DePSA. Sebuah desain pelatihan yang bertujuan untuk mendangkal paham radikal yang berkembang di masyarakat, khususnya dunia perguruan tinggi. Munculnya Pusbang DePSA tak serta merta diterima suka rela oleh mahasiswa. Ada biasa saja, ada juga yang keberatan, khususnya mereka yang terhimpun dalam suatu wadah kelembagaan.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran Pusbang DePSA telah menggiring kontroversi di banyak kalangan aktivis mahasiswa. Bahkan tak sedikit cerita yang menuturkan kemunculan Pusbang DePSA sebagai tembok pembatas kebebasan mahasiswa dalam bergerak. Sebab sejatinya Pusbang DePSA dibentuk sebagai kekuatan pengontrol jalannya roda organisasi kemahasiswaan yang oleh Rektor Untad dianggap sebagai ‘Pintu masuk’ bagi paham-paham radikal.
Perlu dicatat pula, telah terjadi dinamika yang cukup rumit dan kompleks terkait sebelum maupun di awal pembentukan Pusbang DePSA. Sejumlah aktivis mahasiswa tercatat terjerat kasus skorsing akibat dianggap telah merusak marwah kampus di antaranya, mantan Presma, mantan Wapresma, Ketua BEM FKIP, Ketua DPM Fakultas Hukum, Ketua BEM Fakultas Hukum, Ketua BEM Fakultas Ekonomi, Ketua BEM MIPA, Ketua BEM Fakultas Pertanian dan Ketua Himpunan Sosiologi FISIP. Masih teringat jelas pula bagaimana Ketua BEM Fakultas Teknik mendapat perlakuan yang sama akibat kritikannya terhadap Pusbang DePSA ditengah berlangsungnya acara pada angkatan pertama. Beragam kisah tadi dapat menerangkan bagaimana reaksi birokrasi dalam merespon sesuatu yang tidak dikehendakinya. Meskipun kini banyak di antara mereka yang telah dibebaskan.
Terlepas dari semua itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrasi kampus pun kian bervariasi. Pasalnya dalam waktu kedepan, seluruh unsur yang tergabung dalam suatu lembaga kemahasiswaan harus memiliki sertifikat pelatihan Pusbang DePSA. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Rektor Universitas Tadulako Nomor 3537/UN28/KP/2017 Tentang Pusat Pengembangan Deradikalisasi dan Penguatan Nilai-nilai Sosio Akademik tentang kedudukan, tugas dan fungsi Pusbang DePSA seperti yang termuat dalam pasal 2, diantaranya :
1) Menyusun program kerja pembinaan deradikalisasi melalui penguatan nilai-nilai sosio-akademik;
2) Menyusun bahan pelatihan dan menyelenggarakan pelatihan deradikalisasi dan penguatan nilai-nilai sosio-akademik;
3) Menyusun mekanisme dan syarat calon mahasiswa yang akan menjadi pemimpin dan/atau pengurus lembaga kemahasiswaan;
4) Memiliki mandat khusus dalam penentuan ketua/pengurus lembaga kemahasiswaan dari tingkat universitas sampai program studi.
Perubahan haluan politik birokrasi kampus, terutama dalam konteks ini telah mengubah orientasi lembaga kemahasiswaan yang bersifat sentralistik. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan kedudukan AD/ART di tiap masing-masing internal lembaga mahasiswa? Bila demikian, bukan suatu hal mustahil ketika lembaga kemahasiswaan sudah tidak mampu menentukan sikap independensi, baik berupa haluan pada AD/ART atau kebijakan tegas lainnya. Mengingat dalam hal ini mahasiswa juga memiliki hak otonom atas dirinya sendiri, seperti tercantum dalam statuta Untad pasal 96 ayat 2 yang berbunyi “Organisasi kemahasiswaan diselenggarakan dari, oleh dan untuk mahasiswa”.
Aktivitas kemahasiswaan seperti mengalami pancaroba. Persoalan lain muncul ketika lembaga di tiap fakultas mengalami dilema dalam merespon kebijakan baru ini. Seperti fakultas ekonomi yang juga memiliki aturan dasar sendiri, yaitu KKMFE.
Menurut Irwan Tayeb selaku Sekjen Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Konferensi Keluarga Mahasiswa Fakultas Ekonomi (KKMFE) adalah forum musyawarah tertinggi di fakultas ekonomi yang mana nantinya akan menghasilkan sidang kesepakatan yaitu terpilihnya Sekjen baru sehingga disepakati sebuah keputusan-keputusan yang sah dan diberlakukan. Mengingat birokrasi kampus memiliki andil dalam menentukan rangkaian kebijakan, masalahnya terkait sejauh mana para aktivis mahasiswa mampu meyakinkan keberadaannya. (Aht/Mnt)

