“Selamat Hari Kartini. Perjuangan Ibu Kartini harus kita lanjutkan. Raih cita-cita kita dan terus belajar di setiap bidang yang kamu cintai”, begitulah caption akun instagram Badan Pusat Statistik Indonesia (@bps_statistics) pada tanggal 21 April 2018. Sehabis membaca cuitan tersebut, tiba-tiba saya autofocus dengan gambar yang ikut di unggah. Gambar tersebut terdiri dari foto Ibu kita Kartini di ujung kiri atas, di bagian tengah ada tiga perempuan bertoga. Namun yang menarik disini adalah tulisan cantik “Hanya 7,3% perempuan Indonesia di atas usia 10 tahun yang mempunyai ijazah perguruan tinggi di tahun 2016”. Jika akun yang memposting tersebut akun-akun alay ataupun hoax, tentunya saya cukup mengabaikannya. Masalahnya, Badan Pusat Statistik adalah instansi pemerintah yang bertugas untuk menyajikan data-data nasional. Mengabaikan fakta ini adalah bentuk apatis sugra terhadap realita pendidikan perempuan.
Tentunya kita juga tidak asing dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak ke 4 di dunia setelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat. Adapun jumlah penduduk Indonesia sesuai Sensus Penduduk Tahun 2010 sebanyak 237 juta jiwa yang terdiri dari 50,34% laki-laki dan sisanya 49,66% perempuan. Berarti jumlah perempuan di Indonesia sekitar 118 juta jiwa yang tersebar di seluruh Indonesia. Lantas berapa 7,3% perempuan tersebut? Mari kita andaikan dari 118 juta perempuan, ada 100 juta yang berumur 10 tahun ke atas. Sehingga kita dapatkan perkiraan bahwasanya hanya 7,3 juta perempuan Indonesia yang memiliki Ijazah Perguruan Tinggi, sisanya ada 92,7 juta jiwa perempuan. Belum lagi jika 7,3% perempuan ini tidak menyebar secara merata di Indonesia, melainkan hanya bermodus di kota-kota besar saja.
Hitungan-hitungan ini sebenarnya belum bisa saya percaya begitu saja. Makanya saya buka kembali data kependudukan di halaman Badan Pusat Statisitik. Ternyata, hasilnya memang ada di sekitar itu. Ada fakta terbaru yang bisa kita dapatkan disini, yaitu 25,6% perempuan Indonesia yang berumur di atas 10 tahun tidak memilki ijazah sekolah (Perguruan Tinggi bahkan Sekolah Dasar). Berapa jumlahnya, silahkan saudara ambil kalkulator lalu menghitungnya! Lebih parahnya, dalam beberapa tahun ke depan perempuan-perempuan tersebut akan menjadi ibu rumah tangga. Bayangkan, 25 juta ibu rumah tangga tanpa ijazah!
Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Coba kita asumsikan rata-rata ibu ini memiliki 2 anak, sudah barang tentu kondisi pendidikan anaknya tidak akan jauh beda. Apalagi jika kepala keluarga yang hanya sedikit lebih baik dari anggotanya. Sebegitu pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan sehingga Mohammad Hatta pernah berkata “Kalau kita mendidik satu laki-laki, maka kita hanya mendidik satu orang saja. Tapi kalau mendidik satu orang perempuan. Maka, kita mendidik satu generasi suatu bangsa”. Percayalah, bahwasanya perempuan-perempuan di sekitar kita adalah (calon-calon) arsitek bangsa Indonesia. Jika arsiteknya buruk, maka buruk pula lah bangunan rancangannya. Sebaliknya, arsitek yang handal akan menghasilkan karya luar biasa buat peradaban.
Apapun pekerjaan seorang perempuan, mereka wajib berpendidikan. Mereka sekiranya adalah guru-guru pembentuk dasar kemanusiaan seorang anak. Seharusnya ibu mengambil banyak peran dalam mendidik anak-anak. Tidak serta merta melimpahkannya ke guru TK, guru ngaji atau SD tanpa ada andil ibu di dalamnya. Ada banyak contoh di lingkungan kita dimana para orang tua termasuk para ibu mengabaikan hal-hal kecil namun ternyata begitu fundamental (maaf sebelumnya jika contoh yang saya paparkan terasa mengganjal, tidak ada maksud seperti itu saudara-saudari). Terlebih dahulu, setidaknya kita harus memperhatikan Hadits Riwayat Ibnu Majah Nomor 236 berikut “Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun”. Coba kita bertanya pada diri kita masing-masing, siapa yang mengajarkan kita untuk menghafal Surah Al-Fatihah? Jawabannya adalah orang tua, ataukah Guru Mengaji kita (Annang Guru dalam bahasa Mandar). Beruntunglah jika jawaban tersebut adalah orang tua terkhusus ibu kita. Meski begitu, saya agak yakin mayoritas kita (yang beragama Islam) sewaktu kecil dibawa ke Taman Pengajian Al Qur’an sekaligus menghafalkan surah Al-Fatihah disana. Singkat cerita, setiap kali kita membaca surah tersebut dalam Shalat, orang yang mengajarkan kita akan mendapatkan pahala yang sama. Beruntunglah para orang tua yang mendapatkan manfaat tersebut.
Untuk peran yang lebih umum lagi, seharusnya para para ibu mengajarkan anak-anaknya membaca sebelum di lepas ke Taman Kanak-Kanak maupun Sekolah Dasar. Sehingga setiap anak-anak membaca dan memperoleh ilmu, para ibu juga mendapat pahalanya. Masalahnya sekarang, bagaimana para (calon) ibu bisa diharapkan melakukan hal tersebut di zaman serba apatis ini, jika pendidikan yang diperoleh kurang atau bahkan tidak ada sama sekali, jadinya kurang percaya diri juga untuk mengajar anak-anak. Ada perasaan tidak pantas disini. Di saat seperti ini lah, ijazah sekolah, pendidikan dan ilmu menjadi barang yang sangat berharga.
Sedikit membahas pertanyaan yang cukup menarik ini, antara ijazah sekolah dan pendidikan, samakah mereka? Ya, meskipun tidaklah persis. Usaha memperoleh ijazah sekolah, tentunya terdapat proses mendapatkan pendidikan (meskipun banyak yang tidak betul-betul menikmatinya). Adapun pendidikan tidak hanya kita dapatkan di sekolah. Pendidikan bisa kita petik dimana saja, yang penting kita mampu untuk melihat dengan benar.
Kata Sekolah sendiri berasal dari bahasa Belanda “school”, mengingat bangsa kita pernah dijajah dengan keji oleh bangsa ini. Adapun school ini berasal dari bahasa Yunani “σχολείο” (sumber google translate, dibaca scholeío). Melalui pemahaman ini, kita memperoleh sebuah penjelasan bagaimana awal mula sekolah itu. Jadi, sekolah tadi dalam bahasa Yunani di artikan sebagai waktu senggang. Kata ini juga mencakup pengertian dengan cara apa waktu luang dimanfaatkan. Jadi orang Yunani tempo dulu mengisi waktu luang dengan mengunjungi tempat atau seseorang buat menanyakan sesuatu yang dirasa perlu untuk diketahui. Kegiatan ini mereka sebut dengan istilah skhole, scolae, scola, schola yang kemudian hari entah mengapa bisa bermetamorfosis menjadi “sekolah”. Memang nyatanya sekolah hari ini telah mengalami penyempitan makna menjadi sebuah gedung, tempat pacaran, tempat syuting film Dilan, dan ah silahkan di isi masing-masing. Jika ingin ijazah, seseorang harus bersekolah. Adapun jika menginginkan pendidikan seseorang harus dan mesti belajar (sungguh-sungguh).
Kembali ke persoalan 7,3% di atas, nyatanya diharapkan menjadi sebuah proses dialektika yang terdiri dari tesis (keadaan), antitesis (masalah dari keadaan) dan sintesis (solusi dari masalah keadaan). 93,7% perempuan di atas 10 tahun tanpa ijazah tentunya masih bisa mengejarnya jika ada waktu. Walau nyatanya yang menghambat perempuan memperoleh ijazah adalah paradigma masyarakat yang mereduksi semangat bersekolah, tentang perempuan yang pasti hanya akan kembali ke dapur, kamar, dan sumur. Belum lagi masalah biaya sekolah yang sangat mahal, geografis dan lain-lain.
Hari Kartini dan Pendidikan tahun 2018 ini seharusnya bisa menjadi momentum untuk membangkitkan semangat pendidikan kaum perempuan terkhususnya. Sebagai generasi penerus, masa depan bangsa tergantung pada kita semua para pemuda. Apakah akan meneruskan kebobrokan yang merajalela, ataupun meneruskan keemasan yang saat ini berjalan sangat lambat. Kita bisa mengembalikan eksistensi sekolah seperti saat sekolah dilahirkan dan masih suci. Sekolah menjadi tempat meluangkan waktu memperoleh pendidikan tanpa diasingkan dengan kehidupan yang sesungguhnya. Perempuan-perempuan hebat (apalagi di Tadulako) seharusnya bisa menyediakan tempat meluangkan waktu perempuan-perempuan kurang beruntung dengan pelatihan/pendidikan berbagai keahlian. Setidaknya jika tak ber-ijazah, perempuan mesti berpendidikan nan berkarakter.
Untuk memperoleh langkah-langkah yang jitu, sudah barang tentu perempuan-perempuan muda hari ini sangat perlu menyediakan banyak waktu berkumpul guna berdiskusi tanpa dipenuhi gosip-gosip tak bermutu. Saya sendiri sebagai laki-laki, membahas tentang solusi bagi perempuan merupakan hal yang pasti agak menjengkelkan. Bagaimanapun juga laki-laki itu di kiri (left) dan perempuan selalu di kanan (right). Sudah waktunya perempuan menentukan langkahnya sendiri.
Sehingga saya akan segera mengakhiri tulisan ini dengan kembali mengingatkan bahwa “Kalau kita mendidik satu laki-laki, maka kita hanya mendidik satu orang saja. Tapi kalau mendidik satu orang perempuan. Maka, kita mendidik satu generasi suatu bangsa”. Jaya Perempuan Indonesia, Jaya Bangsa Indonesia. Selamat Hari Pendidikan dan Hari Kartini. Dari rahimmu lahir para pemimpin yang Besar. (Perdos Untad 27 April 2018)
Penulis : Ashari Ramadhan_FMIPA_Matematika/Statistika_G50116048
