“Pendidikan literasi dalam membangun karakter anak bangsa”

GERAKAN LITERASI sejatinya ialah gerakan untuk menumbuhkan budi pekerti pada anak-anak agar mau membaca serta menulis sehingga terciptalah budaya cinta akan ilmu pengetahuan pada diri setiap individu. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan yang sama dan hak mendapatkan ilmu dari buku-buku untuk menunjang pendidikan setiap penerus bangsa yaitu anak cucu kita.

Kata seseorang : “Pendidikan merupakan hal yang mahal, untuk makan saja masih mikir bagaimana biaya untuk sekolah?” Lalu mereka melantarkan anak mereka dengan cara tidak memberikan asupan ilmu yang cukup pada otak anak mereka sehingga kemiskinan dan kebodohan mendarah daging pada tubuh keluarga tersebut. Apakah itu salah pemerintah sepenuhnya? Mungkin, iya dan mungkin tidak. Mengapa saya berkata demikian? Coba kita pikirkan kembali, pemerintah mungkin salah karena mereka tidak menggratiskan biaya pendidikaan, tak membagi rata beasiswa karena pada bukti lapangan nya tak semua orang miskin menerima bantuan itu (banyak oknum pelaku yang serakah akan hak orang layak), bahkan sampai ada pejabat yang tega mengepet uang tersebut demi mengisi kantong pribadi mereka (para budak kekuasaan, pencinta uang haram) tapi, kalian para penganut pendidikan bukanlah hal penting juga yang turut ikut ambil andil bukan dalam kedzoliman tersebut? Iya, kedzoliman. Dzolim karena kalian membiarkan diri kalian buta akan huruf aksara, bodoh karena tidak membuat gebrakan melawan ‘ke kotoran’ tersebut, serta dungu karena mau saja tenggelam dalam ketidakberdayaan lalu memasrahkan hidup kalian sang pemisimis takdir.

Membaca adalah cara kita melawan, merupakan kata yang harus kita pertebal setiap huruf nya.

Membaca membuat kita kaya akan ilmu, ilmu yang membuat kita dapat melawan stigma-stigma bodoh para orang awam tentang rasisme, feminisme, kekerasaan sexual dalam bentuk fisik maupun kata, paham aliran kiri kampus, serta bahkan melawan pola pikir para tikus nakal yang mencoba mengatur letak duduk pemerintahan agar tak berjalan seperti seenak jidat mereka. HANYA DENGAN MEMBACA! Maka perlawanan tersebut dapat kalian lakukan dan tak harus menjadi apatis akan segala hal.

Sejatinya ilmu merupakan kandungan para wanita, apa jadinya jika para wanita tak diberi kebebasan untuk memperoleh ilmu yang sejajar? Apa jadinya jika Raden Ajeng Kartini tak membaca majalah serta surat pemberian dari kakaknya Raden Mas Panji Sosrokartono (si jenius dari tanah jawa)? Mungkin saja kini kami, kita, kalian lelaki tak akan mendapatkan Pendidikan dini sejak lahir seperti mampu menulis dan membaca dari ibu kalian, kakak atau adik perempuan kalian akan di jodohkan bahkan sebelum mereka mendapatkan haid pertama mereka tanpa mengeyam pendidikan yang layak, dan kalian dengan tega pula memperlakukan perempuan lainnya semau kalian dengan pikiran kami para wanita hanya perlu melayani kebutuhan ‘ Kasur, sumur, dapur kalian’ serta terima keputusan akan di madu keberapa kalinya. Itu merupakan momok yang menakutkan bagi bangsa kita semua tentunya. Seperti hal ny kalian, kami juga wanita berhak dapat hak yang sama yaitu MEMBACA dan mendapat PENDIDIKAN yang layak karena kamu adalah penopang kehidupan pertama kalian wahai para lelaki.

Maka dengan ini saya menyatakan kecerdasan merupakan hak segala bangsa yang terikat akan status kenegaraan Republik Indonesia.

Kenapa karakter anak bangsa mulai terkikis seiring zaman? Mengapa mengatakan ‘saya cinta kamu’ semudah meneguk air di wadah gelas sampai habis saat kala panas terik matahari menerpa? Kenapa kini banyak komenan benci di portal media sosial yang seharusnya menjadi platform untuk berbagi bukan memaki? Mengapa ? Ada apa? Dan bagaimana?. Itu merupakan fenomena yang aneh tapi nyatanya sudah muncul di zaman era modern sekarang ini. Karakter anak bangsa semakin menjadi-jadi bobroknya membuat kita pada akhirnya mempunyai pola pikir yang beragam tentang fenomena ini. Tapi satu yang harus menjadi penyebab mengapa semua ini bisa terjadi : kurangnya daya minat baca anak-anak terhadap buku yang mendidik dan kurangnya kepedulian tenaga pengajar ntuk mengarahkan didikan kearah yang benar menjadi faktor utama mengapa kini anak ‘Generasi micin’ semakin merajalela dan beranak pinak dimana-mana. Sungguh miris, tapi itu adalah kenyataan yang siap menampar kita semua generasi yang telah diajar ilmu baik dahulu nya. Tenaga pengajar kini bukan lagi tenaga pengajar kami yang dulu, pahlawan kami tanpa tanda jasa. Pengajar kini bergerak karena adanya sertifikasi, asal masuk beri tugas lalu kumpul asal memenuhi kriteria penuh agar mendapatkan beberapa lembar uang merah biru berwajah pahlawan tanpa mau tahu apakah murid yang dia ajarkan paham akan inti sari dari setiap kata yang tercetak di buku tersebut. Asal penting jadwal mengajar beberapa puluh jam tercapai, masa bodoh dengan siswa karena mesin pencaharian bisa memunculkan segalanya. Iya, lalu membiarkan mereka mengeksplorasi segala yang ada di internet tanpa tahu menyaring konten didalamnya merupakan sebuah keteledoran para orang dewasa. Lalu lantas sudah seperti ini, siapa yang dijadikan kambing hitam? Para anak-anak yang kalian kata-katai ‘kids zaman now’ atau lebih dikenal dengan ‘generansi micin’? bukan, tentu saja bukan. Yang salah adalah kita semua yang tidak mampu mengambil peran atas kinerja guru sertifikasi tersebut untuk mengontrol apa saja mereka dapat buka dan mereka tidak bisa buka. Ini bukan sindiran, ini merupakan tamparan agar kita semua sadar bahwa suatu saat era kita telah habis masanya dan menyisakan mereka ke penerus berikutnya.

Hingga kini saya dan para mahasiswa lainnya yang mengaku bukan para apatis masih membuka diskusi kecil-kecilan dengan membahas buku di dalamnya, ditemani segelas kopi sebagai pemanis dalam mengiring buku bacaan kami beradu argument tentang beberapa buku karya penulis terkenal dan merancangkan tempat sederhana sebagai taman surgawi kami para pencinta buku untuk membongkar kebiasaan lama malas membaca buku-buku mengandung unsur edukasi dan juga mengagas ide-ide tentang taman baca kami ini untuk dibawa keliling ke berbagai tempat agar semua kalangan dapat menjangkau setiap halaman yang ada di buku kami lalu berharap mereka membawa ilmu mereka pulang kerumah untuk di ingat kembali barang sepenggal ilmu asal itu bisa membuat mereka paham inti sari nya. Memang lumayan sulit untuk mewujudkan nya saat ini mengingat estimasi anggaran kami belum lah cukup untuk mencakup ranah impian besar kami. Tapi itulah kami, para pemuda bukan hanya sekedar omong besar di diskusi tetapi juga merupakan para pengerak dengan segudang mimpi besar. Berharap pada akhirnya bahwa dengan pemuda-pemudi seperti kami dapat menyelamatkan budaya literasi anak, cucu, bahkan cicit kami nanti. Yah, semoga saja.

Literasi bukan hanya sekedar membaca teks, melainkan pula diartikan sebagai kemampuan membaca keadaan sekitar. – Sekolah itu candu, karya Roem Topatimasang. Merupakan kutipan favorit saya disebuah novel yang kini telah setengah saya baca. Seakan menarik saya untuk berfikir bahwa setiap tempat adalah sekolah, setiap orang merupakan guru, dan setiap buku adalah ilmu. Bahkan sekarang saya menganggap bahwa handphone saya merupakan jendela buku saya yang dapat saya bawa kemana-mana tanpa harus merasa berat meskipun saya merindukan bau khas buku. Tapi menurut saya, handphone juga merupakan solusi kalau kita sebagai pengguna cerdas pula menggunakan nya.

Sekian opini dari saya, saya berharap opini saya dapat membuka kesadaraan berfikir para pembaca sekalian. Karena manusia tanpa berfikir adalah kelumpuhan serta penghinaan atas pemberian sang pencipta.

Nur Wira Fasya

Satu pemikiran pada ““Pendidikan literasi dalam membangun karakter anak bangsa”

  1. Ping-balik: Pendidikan Literasi dalam Membangun Karakter Anak Bangsa – Persmapalu.org

Tinggalkan komentar