Dikotomi Pers Mahasiswa dan Bahaya Laten Menghakimi Isu

Imbas kemajuan teknologi dan era Post-Truth adalah pesatnya praktik sirkulasi informasi antar publik. Semua dapat diakses karena kemudahan mengolah serta mendapatkan sumber-sumber informasi lalu membagikan kepada orang-orang terdekat bahkan orang yang tidak kita kenali. Menurut Presiden Kamus Oxford, Casper Grathwohl bahkan menambahkan bahwa Post-Truth masih akan menjadi word of the year selama beberapa tahun mendatang. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut percakapan dunia didominasi oleh wacana politik dan diskursus yang dipicu oleh meningkatnya signifikansi media sosial sebagai sumber berita dan dibarengi dengan semakin besarnya ketidakpercayaan terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi terkait maupun media massa. Tidak heran berita bohong atau hoaks serta disinformasi menyelundup sehat khususnya di sosial media, penyebaran hoaks kemudian menjadi lebih masif dipicu oleh permainan akun-akun anonim (Buzzer) yang memiliki kepentingan tertentu. Sebagai masyarakat, kita perlu membentengi diri atas penyebaran informasi secara sporadis tersebut dengan kemampuan literasi serta ketekunan memverifikasi data.

Salah satu yang memiliki peranan penting dalam penyebaran informasi adalah media. Media dengan berbagai varian seperti media cetak mupun platform digital bertanggungjawab atas pembentukan opini publik. Setiap media pemberitaan memiliki gaya masing-masing dalam penulisan beritanya, mengingat bahwa media bukanlah saluran yang bebas tetapi mengonstruksi berita sedemikian rupa. Sebuah peristiwa yang sama dapat dibalut dengan secara berbeda oleh media. Ada peristiwa yang diberitakan ada juga yang tidak, ada aspek yang lebih ditonjolkan, ada aspek yang dihilangkan, adapula yang konsen hanya pada isu tertentu. Kesemuanya mengarah pada konsep yang disebut Framing.

Pembingkaian (Framing) adalah salah satu cara bagaimana peristiwa disajikan media dengan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas atau peristiwa sehingga mudah diingat oleh khalayak (Eriyanto, 2002).

Dalam buku bertajuk “Wajah Retak Kumpulan Laporan Penelusuran Media” yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengakumulasi berbagai trend buruk dapur media yang mana pertumbuhan kuantitas industri tidak sejalan dengan dengan laju kualitas profesinalisme media. Dari segi bisnis, hanya 30 persen dari perusahaan itu dikelola secara professional. Artinya secara bisnis sehat, dan produk berita yang dihasilkan berkualitas dan berstandar kode etik. Selain persoalan mutu, keberimbangan (Cover Both Side) juga tidak luput dari ulasan buku ini sebagaimana mempertanggungjawabkan independensinya dalam potret internal media dan wartawan Indonesia.

Ada berbagai literatur mutakhir yang membahas persoalan kompleks yang dihadapi media akhir-akhir ini, meninjau realitas yang terjadi beberapa entitas muncul dalam upaya merestorasi media agar kembali pada fungsi sesungguhnya seperti kehadiran Jurnalisme warga (Citizen Journalism) yang merupakan konsekwensi logis dari demokrasi dan pesatnya kemajuan teknologi berupa kontribusi aktif publik. Selain hak jawab jurnalisme warga memberikan peran kegiatan partisipas aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis, serta penyampaian informasi dan berita.

Sebenarnya ada pula entitas yang dianggap sebagai bentuk paling ideal dari organisasi media yakni pers mahasiswa atau yang sering disebut persma. Persma adalah lembaga penerbitan mahasiswa yang beroperasi di perguruan tinggi namun memiliki cakupan regional bahkan mengangkat isu nasional. Alasan Persma dianggap sebagai organisasi paling ideal terletak pada orientasi Persma yang tidak mengacu pada kepentingan ekonomi melainkan idealisme mahasiswa itu sendiri.

Sebagai media alternatif yang mencoba memberontak dan mendikotomi diri terhadap hegemoni media arus utama, Persma bukan tidak memiliki persoalan dapur yang buruk. Justru ada banyak faktor yang menggerogoti Persma seperti persoalan internal baik kemampuan sumber daya yang belum mempuni atau faktor eksternal seperti pemberedelan dari pihak kampus, tindakan represif dari aparat karena tulisan dan pemberitaan Persma yang berseberangan dengan mereka.

Fenomena menghakimi isu yang diangkat oleh Persma selalu dipandang negatif oleh pihak yang kontra terhadap Persma, dalam tataran lembaga kemahasiswaan pun acapkali Persma di anak tirikan padahal Persma memberitakan kebenaran dan selalu fokus terhadap aspirasi rakyat serta kebebasan dalam berpendapat yang dilindungi undang-undang.

Mari kita soroti kasus yang baru-baru ini terjadi pada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong dari Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) karena mengadakan diskusi berjudul “Framing Media dan Hoaks: Papua dalam Perspektif Media Arus Utama” Dilansir dari laman https://tirto.id/ejAq Diskusi terpaksa dibubarkan aparat pada, Rabu (9/10/2019). Dengan alasan kepolisian bertanggung jawab terhadap keamanan Sukolilo serta diskusi tersebut dianggap tidak memiliki izin, menurut Pemimpin Redaksi LPM Teropong Fahmi Naufala Mumtaz dalam laman berita tirto.id bentuk pengamanan polisi ialah “mengamati dari jarak jauh dan memastikan substansi dan kesimpulan diskusi.” Karena penyelenggaratidak sepakat dengan berbagai alasan tersebut,akhirnya debat tidak terhindarkan. Mengacu pada pasal 10 ayat 4 UU Nomor 9 Tahun 1998, bahwa “pemberitahuan secara tertulis {…} tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.” Diskusi publik jelas termasuk ke dalam “kegiatan ilmiah” yang dimaksud pasal tersebut.

Pers Mahasiswa Dibubarkan

Masalah belum selesai. Awak LPM Teropong dipanggil pihak kampus keesokan harinya pukul 12.00. Mereka, ditemani Presiden Mahasiswa BEM PENS, bertemu di Ruang Sidang D3. Pihak kampus yang hadir adalah Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan PENS Anang Budikarso dan Kepala Unit Minat Bakat dan Organisasi Mahasiswa PENS Novian Fajar Satria. Mereka mendapat kabar yang mengagetkan: LPM Teropong tak boleh berkegiatan lagi di kampus. Mereka juga dibubarkan. “Birokrat [kampus] menyalahkan kami. Pertama, kami [dianggap salah karena] mengadakan diskusi tanpa izin. Padahal sebelum-sebelumnya kami diskusi di kampus pun bisa tanpa izin karena posisi di ruang terbuka tanpa peminjaman ruangan. Pakai izin kalau di ruangan kelas,” kata Naufal. Alasan kedua, karena peserta diskusi banyak yang yang berasal dari luar kampus.

Soal ini, Naufal mengatakan panitia tak bisa mengontrolnya karena poster diskusi tersebar luas di dunia maya. “Ketiga, karena salah satu audiens diskusi ada target operasinya polisi. Kehadiran TO di dalam diskusi dipermasalahkan kampus,” katanya. Dia tahu informasi ini dari “intel”. Alasan keempat, layaknya pers mahasiswa yang sering berkonflik dengan birokrat kampus, misalnya LPM dari ISBI Bandung atau Persma USU, adalah LPM Teropong dianggap kerap memberitakan isu-isu yang sensitif. Naufal mengatakan sanksi ini baru sebatas pernyataan lisan. “Surat resmi belum keluar. Surat edaran akan dikeluarkan [pihak kampus] dan disebar.” Reporter Tirto sudah menghubungi Anang dan Novian sejak Jumat pagi lewat telepon dan pesan singkat WhatsApp, namun yang merespons hanya Novian. Itu pun tak menjawab apa pun. “Maaf saya tidak bersedia [berkomentar],” kata Novian, Jumat (11/10/2019). Sementara Anang malah memblokir nomor reporter Tirto, ditandai dengan hilangnya profile picture yang bersangkutan.

Sedangkan pada laman portal berita online yang berbeda dilansir dari https://jatim.idntimes.com berjudul “Rektorat PENS Sebut Tidak Bisa Bubarkan LPM Teropong” yang terbit pada Sabtu (12/10/2019).

Hal ini disampaikan oleh Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan Anang Budikarso. Anang mengatakan bahwa status kelembangaan LPM Teropong adalah komunitas dan tidak terdaftar sebagai salah satu unit mahasiswa di PENS. Sehingga, kampus tidak berwenang untuk melakukan pembubaran.

“Kita tidak berhak membubarkan LPM, LPM hanya komunitas. Kita arahkan ke organisasi yang benar masuk Sosbang punya BEM, sehingga ada yang bertanggung jawab,” ujar Anang melalui pesan Whatssap kepada IDN Times, Sabtu (12/11).

Namun ketika ditanya tindakan pembubaran diskusi hingga ancaman pembubaran LPM yang dinilai mengintimidasi mahasiswa, Anang tak menjawab. Ia meminta IDN Times untuk datang langsung ke kampus ketika jam kerja.

“Bisa hadir ke kampus saja, nggih. Senin siang atau selasa bisa, Bu. Supaya mendapatkan berita yang benar,” tuturnya.

Akan tetapi, Anang membenarkan bahwa pihak kampus membubarkan diskusi bertema ‘Papua dalam Perspektif Media Arus Utama’, Rabu (10/10). Alasannya, diskusi tersebut tidak memiliki izin. Hal ini dibenarkan oleh Pimpinan Umum LPM Teropong, Fahmi Naufala Mumtaz bahwa pihaknya tidak mengajukan izin ke kampus. Namun diskusi merupakan agenda rutin LPM yang sebelumnya tak pernah bermasalah tanpa perlu mengajukan surat izin.

“Semua kegiatan bisa dilaksanakan asalkan ada izin. Karena SOP kami seperti itu,” pungkas Anang.

Sebelumnya, LPM Teropong dipaksa membubarkan diskusi yang mereka lakukan. Tak hanya didatangi oleh pihak kepolisian, mereka juga mendapatkan pesan bernada ancaman bahwa LPM Teropong dibubarkan oleh pihak kampus.

Maraknya fenomena menghakmi isu tanpa tinjauan yang lebih mendalam dan tanggapan represif atas isu sensitif tertentu menjadikan kita sebagai makhluk otoritarian yang kejam, padahal masih banyak jalur alternatif yang konstitusinal, yakni lewat jalur dialog ilmiah. Gagasan harus diadu dengan gagasan. Ada tesis ada anti tesis kemudian menjadi sintesis agar tercipta diskursus yang memberikan edukasi pada publik.

Salam Persma!
Suara Mahasiswa Suara Rakyat.

Penulis: Nurcholis Darmawan

Tinggalkan komentar