
Sejak covid-19 memasuki Indonesia, isu ini telah menjadi titik perhatian di berbagai media sosial. Apalagi media arus utama menjadikan ini sebagai arus utama pemberitaannya.
Di tengah bonanza kebebasan pers, terlebih dengan kemunculan beragam platform digital, di mana sering kali berkembang informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan masuk dalam kategori berita bohong atau hoaks. Akurasi dan objektivitas lalu disangsikan, atau yang lebih penting pengaruhnya kurang.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (20/4/2020), mencatat setidaknya terdapat 562 isu hoaks terkait covid-19 yang tersebar diberbagai platform digital. Jika sebaran dihitung per platform , maka terdapat 1.231 hoaks yang ditemukan di Facebook, Twitter, Instagram dan Youtube.
Terdapat banyak ragam kasus hoaks mengenai covid-19 berdasarkan hasil identifikasi oleh Kominfo. Misalnya tentang skenario krisis ekonomi di Indonesia, obat penangkal virus corona, cara penularan virus corona, bahkan sampai dengan paket internet gratis.
Penulisan berita berbasis data dan tidak sekedar asumsi merupakan tuntutan media saat ini. Dengan pembatasan aktivitas sosial akibat pandemi covid-19, maka kerja-kerja wartawan pun kian terbatas. Namun media harus membuktikan diri sebagai kekuatan yang andal.
Jurnalis Kompas TV, Aiman Witjaksono melalui laman resmi Komisi Penyiaran Indonesia (9/5/2020) menjelaskan bagaimana wartawan memiliki andil yang tinggi di tengah situasi yang serba tidak jelas.
“Dalam situasi krisis seperti sekarang ini, fakta itu menjadi sesuatu yang suci. Jadi, jangan karena kita harus di rumah tugas investigasi jadi terhenti. Fakta juga bisa menjadi manfaat dan bisa membangun optimisme masyarakat”.
Menurut Aiman, wabah covid-19 penting untuk menguji bagaimana struktur mental wartawan melakukan penafsiran dan pemaknaan dalam melihat sebuah permasalahan, serta implikasi dari penulisan teks berita.
“Dalam keadaan seperti ini yang akan muncul adalah insting atau naluri seorang wartawan. Insting jurnalis itu menjadikan bagaimana memberi sesuatu yang baik dan bernilai bagi publik. Namun hal itu sangat tergantung dari hati nurani. Sifat pragmatis itu ada di jurnalis, namun sebagai manusia hal itu harus kita singkirkan.”
Beberapa pengamat memberikan kritik atas pemberitaan media mengenai covid-19. Agung Dharmajaya misalnya. Jika media menekankan pada isu covid-19, menurut pengalaman-pengalaman yang lalu kegiatannya jadi serba amatir. Ia bahkan mengatakan kebanyakan gaya dan metode penulisan beritanya cenderung berlebihan dan membawa dampak negatif bagi masyarakat.
“Ada sekitar 200 ribu artikel berita terkait soal covid. Sayangnya, hampir sebagian besar isi artikel tersebut menyuguhkan pemberitaan yang cenderung tendensius dan sensasional.
Pada awal-awal kejadian itu kami menilai belum ada pemahaman tentang kasus ini. Jadinya sifat beritanya masih sensasional yang membuat orang takut. Sekarang ini masyarakat seperti sudah biasa dan mereka lebih senang untuk membaca atau menonton informasi tentang kesembuhan, menjaga kesehatan dan berita positif lainnya” ujar Agung Anggota Dewan Pers sebagaimana dilansir dari kpi.go.id (9/5/2020).
Dengan pembacaan atas gejala dan problem yang melanda, maka muncul paradoks dengan analogi dua sisi mata uang. Media di satu sisi dipuja karena menjalankan fungsi seperti mendidik, menginformasikan, menghibur dan kontrol sosial. Sementara di sisi lain, dianggap sebagai sumber utama kepanikan.
