RUU Minerba : Cacat Prosedur

Sumber : wikipedia

Setelah mengesahkan RUU KPK. Dan beberapa waktu lalu pembahasan mengenai RUU Cilaka (omnibus law) yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra. Kini ditengah-tengah pendemi Covid-19 pada rabu, 12 mei 2020. Rapat paripurna DPR kembali mengesahkan Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) memperbaharui UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Ada beberapa poin penting yang diatur dalam revisi UU Minerba. Mulai dari pengaturan pada Izin Pertambangan Rakyat (IPR), perpanjangan izin, kewenangan pengelolaan dan perizinan serta aspek lingkungan, hilirisasi, divestasi, juga pengaturan yang diklaim guna memperkuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

RUU Minerba ini telah dibahas sejak tahun 2019 lalu. Namun atas keputusan presiden , pembahasan rancangan undang-undang ini ditunda. Hingga pada Februari 2020, RUU tersebut kembali dibahas dan kemudian disahkan pada 12 Mei 2020. Artinya, pembahasan RUU Minerba hanya dilakukan kurun waktu 3 bulan saja.

Pengesahan RUU Minerba, banyak menuai polemik oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Merujuk pada fakta, rapat-rapat yang digelar oleh panitia kerja RUU Minerba, selama ini dilakukan melalui sidang-sidang tertutup dan tidak menyediakan ruang aspirasi bagi masyarakat. Tidak hanya itu, salah satu media pemberitaan indonesia, juga mendapatkan informasi bahwa dalam pembahasan RUU Minerba baru-baru ini, tidak melibatkan BUMN pertambangan dan batu bara, yang sejatinya memegang hak penuh pada sektor tersebut. Olehnya dapat dikatakan bahwa pembahasan RUU ini “cacat prosedur” sebab minimnya partisipasi dan transparansi pada pelaksanaanya.

Melirik sejarah, yakni pada aksi besar-besaran mahasiswa ditahun 2019, RUU ini juga termasuk salah satu yang dicekam pengesahannya oleh masyarakat dan juga mahasiswa. Karena terindikasi bahwa RUU tersebut ditunggangi oleh kepentingan korporasi-korporasi besar, yang lebih mengutamakan hak swasta dibanding warga dan juga negara.

Jika di sektor Migas terdapat prinsip ”Right of first refusal” yaitu hak bagi BUMN untuk memperoleh penawaran terlebih dahulu atas seluruh aset-aset tambang, namun pada sektor Minerba keeklusifan itu dihapuskan untuk aset tambang raksasa. Artinya hak BUMN atas pengelolaan untuk seluruh Sumber daya alam yang ada di Indonesia, itu tak lagi dihiraukan dalam RUU Mineral dan Batu bara.

Seperti tergesa-gesa, pemerintah kebut pengesahan RUU Minerba, tanpa mempertimbangkan situasi juga kondisi negara pada saat ini. Alih-alih menjaga keselamatan rakyat dan juga lingkungan dimasa pandemi, mereka justru melindungi dan lebih mementingkan keselamatan elit korporasi.

Penulis : Sarfandi

Tinggalkan komentar