Kritikkan Para Ahli Terkait Kebijakan ‘New Normal’

Gambar : Tempo.com

Pada mulanya adalah pernyataan pihak WHO tentang perkembangan virus covid-19.

“Virus ini mungkin menjadi virus endemi lainnya di dalam masyarakat dan virus ini mungkin tidak akan pernah hilang. Saya pikir penting bagi kita bersikap realistis”, ungkap Mike Ryan Direktur Kedaruratan Kesehatan WHO, dalam konferensi virtual (14/05), dikutip dari KompasTV.

Pasca pernyataan WHO tersebut, sejumlah negara mulai melonggarkan kebijakan lockdown dan physical distancing , serta mulai mempersiapkan kehidupan baru atau disebut ‘new normal’.

Melansir dari Tempo.com (19/05), negara-negara Eropa, seperti Italia, Spanyol, Yunani dan Portugal memutuskan melonggarkan lockdown secara bertahap. Langkah ini mengikuti penurunan konsisten dalam jumlah kematian harian yang tercatat. Italia dan Spanyol termasuk yang menandai penurunan yang signifikan dari angka kematian sejak memberlakukan lockdown .

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebelumnya Presiden Jokowi meminta masyarakat berdamai dengan virus covid-19.

“Beberapa waktu lalu saya menyampaikan bahwa kita harus berdamai dengan covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menyatakan bahwa kita harus hidup berdampingan dengan covid-19” tulis presiden dalam akun instagramnya pada Sabtu (16/05).

Dalam media sosial itu juga (26/05), Presiden Jokowi telah meninjau kesiapan penerapan prosedur standar tatanan kehidupan baru atau ‘new normal’.

“Saya ingin memastikan kesiapan kita dalam menuju ke sebuah tatanan baru, ke sebuah kenormalan baru. Kita ingin bisa masuk ke kenormalan baru dengan kesadaran dan kedisiplinan yang kuat untuk menekan angka penyebaran covid-19. Dalam satu minggu ini akan kita lihat bagaimana dampaknya.”

Upaya tentang penanganan covid-19, persisnya tentang ‘new normal’, urusannya tak jauh dari perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal dengan menerapkan protokol kesehatan. Pada kasus inilah, kebijakan ‘new normal’ pemerintah memicu kontroversi di kalangan masyarakat.

Secara wacana, beberapa pengamat tampil mengembangkan opini yang melucuti kebijakan ‘new normal’.

1) Pengamat Kesehatan

Dalam wawancaranya di vlog KompasTV (30/05), Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono,
menuturkan pelaksanaan ‘new normal’ saat ini belum tepat karena indikator kesehatan belum terpenuhi.

Pandu mengamini ‘new normal’ adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya gelombang kedua persebaran virus corona. Belajar dari pandemi flu Spanyol 1919, 50 juta warga dunia meninggal, dan sebagian besar meninggal saat terjadi gelombang kedua.

Lebih jauh, Pandu hendak mengatakan bahwa dasar penerapan ‘new normal’ adalah angka reproduksi yang menurun. Ia tampak terbentur pada kenyataan bahwa pemerintah belum memiliki data yang akurat.

Untuk itulah, menurut Pandu terdapat 3 indikator yang harus dipertimbangkan pemerintah apabila belum memiliki data yang akurat, yaitu indikator epidemiologi, indikator kesehatan publik, serta indikator kesiapan layanan kesehatan.

Pandu menganggap sampai saat ini perkembangan covid-19 di Indonesia secara agregat masih berada pada tahap kenaikan. Sekalipun di wilayah-wilayah yang melaksanakan PSBB sudah mengindikasikan terjadi kasus penurunan.

2) Pengamat Ekonomi

Fenomena ‘new normal’ menandai babak baru kehidupan masyarakat di tengah pandemi. Dengan kerangka ini, ulasan tema ‘new normal’ diperlakukan sebagai wacana: sesuatu yang diusung, dipertandingkan, diperbarui, kemudian disodorkan untuk kembali mendapat kritik, sanggah, atau sekadar tanggapan. Seperti yang dilakukan Ekonom Indef Media Wahyudi Askar.

Mengutip Cnnindonesia.com (03/06), menurut Media, ‘new normal’ justru berpotensi membuat ekonomi Indonesia jatuh lebih dalam.

“Memang, ketika relaksasi ada perbaikan ekonomi. Tapi ketika ada peningkatan kasus, ekonomi ambruk lagi. Indonesia masih berada pada tahapan pembatasan masyarakat, masih banyak angka kasus dan kematian cukup tinggi.”

Dalam konteks ini, rasionalitas ekonomi jangan sampai meminggirkan rasionalitas kesehatan. Ia menekankan pemerintah sebaiknya fokus membatasi pergerakan masyarakat sampai kurva kasus positif covid-19 menurun dan masyarakat bisa dengan aman berkegiatan dengan protokol kesehatan yang disarankan WHO.

3) Pengamat Politik

Kritik pedas lainnya diberikan oleh pengamat politik Ari Nurcahyo.

Seperti yang dikabarkan Tempo.com (05/05), setidaknya terdapat beberapa kelemahan yang dimiliki oleh pemerintah ketika menggaungkan wacana ‘new normal’.

Pertama, kebijakan tersebut bertolak belakang dengan implementasi kebijakan. Ari menilai ajakan tersebut bersifat optimis, tapi dalam implementasi kebijakan masih terdapat kesenjangan yang cukup lebar.

Kedua, mekanisme kerja yang tidak memiliki kejelasan mengenai fungsi koordinasi, instruksi dan sanksi. Ketidakjelasan ini berawal dari minimnya informasi dan sosialisasi, sehingga masyarakat masih bingung dengan istilah ‘new normal’. Selain itu, carut marutnya koordinasi dan komunikasi publik pemerintah juga menjadi alasan lain.

Tinggalkan komentar