Pendidikan Tinggi: Masihkah Menjadi Jalan Emas Menuju Masa Depan yang Cerah?

Sumber Foto : Rifka

Kalau kata orang dulu, “Sekolah yang tinggi ya, biar masa depanmu cerah dan terjamin.” Kalau sekarang, bagaimana? Apakah itu masih berlaku?

Secara historis, masa depan seseorang dapat dilihat dan dinilai dari bagaimana tingkatan pendidikannya, apakah dia sudah sarjana atau hanya sebatas lulusan SMA, atau bahkan tidak lulus sekolah sama sekali. Pendidikan tinggi dianggap sebagai tiket emas menuju masa depan yang lebih cerah. Sering kali muncul pernyataan bahwa seseorang yang tidak lulus sekolah atau bahkan hanya sekadar tamatan SMA tidak akan memiliki masa depan yang cerah, berbeda dengan mereka yang sudah sarjana apalagi magister.

Tidak jarang dari mereka yang percaya bahwa tidak semua orang yang kuliah itu masa depannya akan cerah, apalagi ketika mereka baru menyelesaikan studinya. Zaman sekarang semua bisa memiliki masa depan yang cerah, semua orang berhak merasakan itu semua, bukan hanya terpaku pada tingkatan pendidikan.

Banyak orang di luar sana yang mungkin tidak tamat sekolah atau hanya lulusan SMA, terutama orang tua, tetapi masa depan mereka terjamin dari anak-anak yang berhasil mereka sekolahkan. Meski hanya bekerja sebagai nelayan, petani, buruh, atau bahkan ojek, tetapi mereka berhasil menjamin masa depannya melalui anak-anaknya. Dan tidak jarang juga, banyak anak di luar sana yang hanya tamatan SMA, SMP, SD, atau bahkan tidak sekolah dan mampu berhasil di masa depan selagi ada kemauan.

The point is kemauan, bukan hanya mengandalkan sekolah tinggi-tinggi hingga menjadi sarjana, tetapi harus ada kemauan, usaha, dan kemampuan. Melihat realita saat ini, banyak yang menganggur, bahkan hingga 850 ribu orang yang termasuk dari mereka yang berstatus sarjana. Hal tersebut terjadi tentu karena kurangnya lapangan pekerjaan. Namun, bukan hanya itu, tapi juga karena persaingan yang ketat, karena gelar tidak selalu menjamin seseorang mudah mendapatkan pekerjaan. Dalam kehidupan nyata, pengalaman, keterampilan, kemampuan komunikasi, dan mahir dalam teknologi yang dibutuhkan dalam pekerjaan, bukan sekadar gelar dan dari instansi mana kamu menuntut ilmu.

Pendidikan tinggi juga belum sepenuhnya inklusif. Mahalnya UKT (Uang Kuliah Tunggal), biaya hidup di kota besar, hingga akses ke kampus unggulan yang masih menjadi hambatan bagi kalangan tidak mampu. Akibatnya, banyak generasi muda yang cerdas namun terpaksa harus mengubur cita-cita hanya karena faktor ekonomi. Ketimpangan ini membuat pendidikan tinggi belum bisa sepenuhnya dikatakan sebagai jalan emas karena tidak semua anak bisa melaluinya.

Dari sudut pandang lain, muncul soal kuantitas. Tidak jarang perguruan tinggi yang lebih mengutamakan kuantitas dibanding kualitas lulusannya. Kurikulum yang tidak berkembang dan tidak mengikuti perkembangan zaman membuat lulusannya kerap gagap menghadapi dunia nyata. Tanpa pembaruan sistem, perguruan tinggi hanya akan melahirkan lulusan dengan pengetahuan teoritis, namun minim kemampuan untuk mengaplikasikan apa yang telah dipelajari ke dalam dunia kerja, kehidupan sehari-hari, atau situasi nyata lainnya. Mahasiswa yang seharusnya sebagai agen perubahan pun mulai mengalami pergeseran. Semangat kritis, idealisme, dan kepedulian sosial mulai luntur, tergantikan oleh orientasi pragmatis: kuliah demi IPK, demi lulus cepat, lalu kerja. Kampus tak lagi ramai dengan wacana dan diskusi ilmiah, tetapi lebih pada kegiatan administratif dan seremonial. Ini menjadi tantangan besar bagi generasi mahasiswa hari ini.

Lalu, seiring kemajuan teknologi, berbagai alternatif pembelajaran pun bermunculan. Bootcamp, kursus daring, pelatihan intensif, hingga platform belajar mandiri kini banyak dipilih sebagai jalan cepat untuk meningkatkan kompetensi. Tak sedikit yang berhasil membangun karier gemilang tanpa gelar akademik. Ini membuktikan bahwa pendidikan tinggi bukan lagi satu-satunya jalan yang paling menjamin menuju kesuksesan.

Namun demikian, bukan berarti pendidikan tinggi kehilangan makna. Justru ini adalah momentum untuk melakukan refleksi dan reformasi ke depan. Kurikulum harus lebih adaptif, kolaborasi dengan dunia industri diperluas, dan mahasiswa perlu didorong untuk mengembangkan soft skill, kreativitas, serta kepemimpinan. Pendidikan tinggi masih bisa menjadi jalan emas, asalkan tidak berjalan di tempat dan terus bergerak mengikuti perkembangan zaman.

Penulis : Rifka Fadillah

Editor : Pengurus Redaksi

Tinggalkan komentar