
Taman Akuntansi, Selasa 9 Desember 2025 _Taman Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako menjadi lokasi berkumpulnya sejumlah mahasiswa dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Momen tahunan ini digelar sebagai bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kegiatan diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako dengan mengangkat tema “Suara Kita, Masa Depan Bersama: Mengakhiri Kekerasan, Memperkuat Kepemimpinan Perempuan.”
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merupakan gerakan internasional yang berlangsung setiap 25 November hingga 10 Desember. Di FEB Untad, kampanye ini dihadirkan sebagai ruang edukasi publik untuk membahas isu kekerasan berbasis gender, pemenuhan hak-hak perempuan, dan penguatan peran perempuan dalam kepemimpinan kampus.
Acara ini menghadirkan empat pemantik diskusi, yaitu Nurul Rahma (Wakil Ketua BEM FEB), Dahnia Sapara (Pimpinan Umum LPM Produktif), Nur Indah Muslimah (Presiden Welcome), dan Veilysia Yobintowe (Ketua Umum Persomi).
Topik Pertama: Mengurai Kekerasan Seksual di Lingkup Mahasiswa
Diskusi dibuka dengan pembahasan mengenai kekerasan seksual yang masih membayangi banyak ruang, termasuk lingkungan kampus. Nurul Rahma menegaskan urgensi penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia dan menyinggung data kasus yang terus meningkat, termasuk fakta bahwa sebagian besar terjadi di lingkungan rumah—ruang yang seharusnya menjadi tempat aman bagi perempuan. Ia turut mengangkat kisah Marsinah sebagai simbol perjuangan perempuan menghadapi ketidakadilan.
Pemantik kedua, Dahnia Sapara, mengingatkan bahwa kekerasan tidak hanya berbentuk fisik. Perempuan, katanya, telah menghadapi ancaman sejak lahir, bahkan di ruang digital. Media sosial kerap menjadi tempat terjadinya perundungan, pelecehan verbal, hingga penyebaran konten yang merendahkan perempuan.
Sementara itu, Veilysia Yobintowe menyoroti bentuk kekerasan verbal dan nonverbal yang sering kali dianggap remeh. Ucapan merendahkan, komentar terkait tubuh, candaan seksis, dan gestur intimidatif menurutnya merupakan bentuk kekerasan yang sering dinormalisasi tanpa disadari.
Nur Indah Muslimah menutup sesi pertama dengan membahas dinamika kekerasan dari perspektif gender serta menyampaikan studi kasus internasional. Ia juga membawa pandangan Satgas PPKS, Hanasolihin, mengenai pentingnya sistem penanganan kasus yang responsif dan tidak menyalahkan korban.
Topik Kedua: Hak-Hak Perempuan
Pembahasan berlanjut pada isu hak-hak perempuan. Para pemantik menegaskan bahwa hak perempuan untuk mendapatkan perlindungan, akses pendidikan, layanan kesehatan, serta bebas dari diskriminasi merupakan hak fundamental, bukan keistimewaan. Kesetaraan gender dipaparkan sebagai upaya membuka peluang adil bagi semua pihak, bukan untuk mengunggulkan satu kelompok.
Topik Ketiga: Peran Perempuan
Pada topik terakhir, diskusi menyoroti pentingnya penguatan posisi perempuan dalam ruang publik dan organisasi kampus. Para pemantik sepakat bahwa perempuan tidak boleh terus diposisikan sekadar sebagai pendukung. Kepemimpinan perempuan perlu diperkuat melalui literasi gender, keberanian menyampaikan pendapat, dan dukungan struktural dari organisasi kemahasiswaan.
Sesi diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya mahasiswa yang mengangkat isu kekerasan serta berbagi pengalaman yang mereka temui di lingkungan internal maupun eksternal kampus.
Kegiatan ditutup dengan pentas seni bertema kekerasan terhadap perempuan. Pentas ini menegaskan bahwa suara perempuan dan siapa pun yang peduli pada nilai kemanusiaan merupakan fondasi masa depan yang lebih aman, adil, dan setara. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di FEB Untad sekaligus menjadi pengingat bahwa gerakan ini bukan sekadar agenda seremonial, tetapi komitmen untuk menciptakan lingkungan kampus yang bebas kekerasan serta mendorong lahirnya pemimpin perempuan yang tangguh.
Penulis : Devina
Editor : Pengurus Redaksi
